Drama Aksara

Kenapa Harus Ada yang Tiada?


Setiap ada duka cita terdekat dari rumah/sanak famili/kolega yang berhubungan dengan meninggal dunia, saya pasti timbul sakit perut, diare, dan pola begadang yang sama: baru bisa tidur jam 4 pagi. Biasanya, ini hanya simptom di hari pertama dan kedua setiap kepulangan. Nantinya akan hilang, dengan selera makan yang tak menentu hingga 7 hari kepulangan.

Bahkan, jikq saya diminta menjelaskan kejadian yang sama—yang terjadi hampir 20 tahun lalu, saya masih bisa. Apabila saya diminta menceritakan kepulangan yang terjadi 10 tahun lalu, pun saya masih bisa. Menjelaskan betapa dinginnya jenazah, atau betapa takutnya anak usia 10 tahun melihat darah di kain kafan yang tertutup.

Bukan cerita kisah mistis atau hantu, namun saya lebih menceritakan bagaimana semua cerita puluhan tahun lalu masih saya ingat, saya ikhlaskan, namun tetap terkenang. Betapa anak 10 tahun itu memegang bendera kuning, duduk di muka ambulans bersama supir, ditengah hari menstruasinya, membuka jalan demi mendapat lintas utama menuju pemulasaran ayahandanya. Begitu pula, fasihnya saya bisa menceritakan sore mencekam dimana nyawa teregang di pangkuan kecil anak yang masih bingung siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah dari guru di sekolah.

Ketakutan akan selang cairan menuju vena atau yang sering disebut selang infusan yang bersimbah darah, atau terkaparnya sang kakek dalam toilet, membuat saya menjadi sosok yang memilih mudah marah-marah daripada harus sakit berkepanjangan. Mengingat kematian, membuat saya muak, termasuk apabila harus selalu menjelaskan kronologis berpulang.

Saya selalu kesal dengan Tuhan ketika mengingat bahwasanya selalu ada kematian, dan harus selalu ada prosesi mengingat yang sudah berpulang.
Bagaimana saya tidak mengingat terus, kalau cerita itu tak lekang dari kepala yang makin hari dipenuhi ketakutan?

Kadang saya berpikir, bisakah kematian itu seperti saat Nabi Isa diangkat ke langit, yang di bumi hanya merasakan tanya tapi ya udah aja gitu, bisa beraktivitas lagi tanpa ada duka dan grieving berkepanjangan. Tapi nyatanya, justru dengan kepastian adanya jasad yang tak bernyawa, itu lebih menenangkan, daripada jiwa dan raga yang gaib, kan?

Setiap ada kisah yang berpulang, tak henti dada ini turut sesak. Entah apa yang harus saya lakukan untuk melepaskan sesak, dan bersiap untuk sesak kembali, kala kesedihan dan duka cita kembali datang.

17/10/22
G

Si Pengarung Senja



Lelaki itu mengarungi senja, sampai subuh pun tak kuasa menangguk nyinyiran gulita yang segera memadam, kecuali di lorong-lorong pusat semesta yang tak terjamah badai para juru damai.


Ketika senja tak lagi ganjil, sesekali karungnya pun disingkap, jangan-jangan senja telah masuk ke dalam. Meski sarung tetap yang itu itu juga, menemani memunguti ujaran ujaran benci yang semakin menjadi barang berharga, tiada tertulis harganya. Tidak seperti mutiara, berapa pun nilai karat tetap saja terbeli. Harganya telah terpajang terang di tempat pedagang barang benda berharga.


Lelaki itu semakin menjadi jadi, ribuan senja diambilnya satu persatu sekedar tahu berapa karung sudah yang berhasil dikarungi. Meski dia mulai tercerahkan bahwa usahanya tak mampu untuk beli apa-apa, yang ia pikirkan hanya bagaimana menyambung nyawa dari detik ke detik.


G,
16/04/21

Berkomitmen dengan Orang Aneh

Bagi sebagian orang, memilih untuk berkomitmen sangat berat. Ada juga yang menganggap komitmen adalah hal yang mudah. Aku, adalah sebagian orang yang menganggap itu berat.

Bagaimana tidak, di hari pertama kita bersama, aku harus berdamai dengan orang aneh sepertimu, yang dengan caramu memencet pasta gigi yang dari tengah itu. Sangat aneh! Kemudian, aku harus menghela napas lebih panjang saat kau meletakkan handuk di atas kasur busuk yang bertahun-tahun lalu sudah kugunakan. Apakah tidak makin busuk kasurnya? Hhhhh..

Selera musikmu yang sungguh berbeda jauh, meme yang terkadang bagiku lucu, bagi mu tidak. Berisikmu menonton film hingga larut malam pun sangat mengganggu jam tidurku!

Berdebat denganmu hanya akan membuat lelah, karena kau tidak pernah menyelesaikan segala pertanyaan yang ku lontarkan dalam emosi. Bagaimana tidak emosi, jika harus menerima bahwa kau entah dimana menaruh pasangan kaos kaki?! Bagaimana cara ku memakai kaos kaki yang hanya sebelah ini?!

Berdebat denganmu hanya akan menyisakan dahak di tenggorokan karena tentu saja kau tak akan dengarkan.

Tapi bukan berarti, kau memang begitu anehnya sehingga aku tidak bisa maafkan. Untuk apa ku maafkan, kalau besoknya tetap begitu, bukan?

Mungkin memang pembiasaan yang terjadi padamu, tidak sama dengan apa yang ku biasa lakukan. Metode mencuci piring, bagaimana cara membersihkan lantai kamar mandi, tentu saja tidak sama dengan apa yang biasa ku lakukan, karena memang ini adalah pembiasaan baru yang kau harus terima perlahan.

Satu kata yang selalu kau jawab kepada siapapun saat ditanya bagaimana rasanya menjalin komitmen sampai mati: Belajar.

Pernikahan itu seperti belajar. Belajar sampai mati. Belajar menerima perbedaan satu sama lain. Belajar memaklumi kekurangan masing-masing, dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak harus sempurna, setidaknya proses belajar yang dilakukan bersama sudah maksimal.

Ku biarkan kau belajar untuk bagaimana menyemai rumput di halaman. Ku biarkan juga kau untuk mengulek cabai, memasak lado, meracik kue nastar, dan segala hal yang tentu saja sudah biasa ku lakukan.

Lalu, apa yang ku pelajari?

Tentu saja kamu tidak belajar sendirian, sayang. Aku sedang belajar untuk lebih sabar dengan segala proses yang kita jalani. Berusaha sabar untuk segala langkah yang sedang dijalani bersama. Aku belajar juga, untuk tidak menggerutu terlalu lama jika kamu melakukan hal yang ceroboh, karena tentu saja aku pun tak luput dari kecerobohan itu, bukan?

Aku juga sedang belajar untuk memberikan telinga dan mendengarkan keluh kesahmu sampai salah satu dari kita pulang lebih dulu.

Terlepas dari apapun yang kita selalu berselisih paham, segala yang tidak kita sukai satu sama lain, aku selalu bersyukur untuk dipertemukan denganmu. Terima kasih telah menjadi kau yang tentu saja sangat menyebalkan, tapi tidak pernah lelah untuk belajar. Terima kasih, telah berjuang tanpa lelah untuk menerima perbedaan-perbedaan di sekitar kita.

Selamat ulang tahun,
Terima kasih, untuk tetap hidup dan belajar bersama




Menghitung Waktu

Sebentar lagi,
bukan waktu yang singkat
untuk melupa, dan menyambut yang ada

Sebentar lagi,
bukan waktu yang cepat
untuk melangkah, dan memeluk yang ada

Kelak, mungkin tidak akan ada lagi
Romansa dalam malam yang dingin
Cengkerama lewat telepon genggam
atau sekadar bertukar gambar

Karena tak hanya rindu yang mulai berlabuh
Tapi diri ini
Mulai menetap
Memasang jangkar pada pulau terakhir yang disinggah

G,
25/02/20

Berita Duka Cita

Telah berpulang
Pejuang asa
Pembela keyakinan
Memperjuangkan segala mimpinya; untuk bersama


Menembus angan
Untuk menatap dan melekat dalam matanya
Pada akhirnya harus gugur
Di belantara terdalam

Rindunya berpulang
Saat ia sadar
Tak lagi berharap
Pada asa yang tak berlabuh


Akan dikebumikan
Pada tepian hutan
Tempat ia memburu sorot matamu
Yang mengerling; pada orang lain

Satu kata yang akan ia ingat selalu,
"Maaf, kita hanya bisa jadi teman"


180319
-G-

Sajak yang Tak Indah




Ini mungkin bukanlah sajak terbaik yang ku rajut, tapi inilah apa adanya: Sebuah sajak yang tak indah

Gema kembang api melejit ke angkasa
Bersama gemercik hujan yang turun
di awal tahun yang baru

Aku tak ingin merangkai yang indah-indah
Karena semua mungkin saja hanya kata
Bukan tindakan yang sugguh nyata manusia mampu lakukan

Sudahlah, tak perlu bermanis manja!
Semua kemesraan tak lagi ada guna
Bukankah sebaiknya tindakan yang kelak menjadi nyata?

Waktu berlalu begitu cepat
Hampir setahun waktu berjumpa
Menapaki alur yang begitu saja

Kalimat aksara penuh kata merindu sebuah raga
Tak lagi ada
Sembuyi ia ragu memunculkan nama

Betapa anehnya sajak ini
Tak punya rima bagai kepala yang tak ada isinya
Bagai elit politik pendukung satu dan dua

Bagai mereka yang kosong tapi nyaring
Susah-susah kuliah di luar negeri
Hanya buat telinga khalayak berdengung

Yang pada akhirnya
Aku menyerah
Pada bahumu yang sesekali ku gigit manja
Tempatku nantinya berkeluh kesah
Dibawah pelita bulan purnama bukan Basuki Tjahaja

Atau jika kau ingin sajak ini lebih indah
Akan ku percantik degan cerita anak-anak bulu
Yang setiap hari harus berebut mencari peluk
Lewat bahumu yang tak pernah sendu

Dan pada setiap peluh,
Lagi-lagi aku terjatuh
Merangkai sajak yang tak pernah indah
Untuk kita; pada setiap langkah

-

01/01/19
-G-





Kurang Tidur

Rasanya aneh ketika kita jatuh cinta, kita seolah tunduk dengan semua pinta. Diperbudak oleh rasa rindu, kasih, hingga ragu dan takut. Segala rasa bercampur padu, terkadang membuat haru, tapi lebih sering membuat sendu.

Bertahan dengan hampa, buat apa?

Setiap pagi kita berkabar dengannya, memberi tahu jadwal masing-masing, bersiap ke kantor, berkabar, sesekali berjumpa di sore hari, dan mengakhiri hari pada persimpangan dimana kau harus berbelok dan ia melangkah maju.

Dan itu berulang, setiap harinya.

Hingga akhirnya lelah, bukan kepada kisahnya, tapi kepada rutinitas yang selalu menimbulkan tanya,

"Seperti apa ujungnya? Bersatu atau menjauh?"

Kita pun bisa saja lelah untuk berpura-pura. Lelah untuk menjalani yang lagi-lagi tak pernah diketahui ujungnya. Kita seolah membuat jebakan sendiri, mempersulit keadaan hingga membuat diri tidak mengerti atas apa yang dilakukan. Jiwa ini semakin bias pada konsep diri berpasangan, entah untuk apa? Apakah yang kita lakukan? Saling cinta, atau hanya saling mengikat dan membuat luka satu sama lain?

Atau mungkin, hanya saya yang tidak bijak dengan diri sendiri? Membiarkan diri ini lagi dan lagi terbius akan cerita dan memaksa semua mengalir, padahal begitu banyak kerikil yang menghambat arusnya? Entahlah.

Asumsi bergejolak dalam benak, pertanda diri butuh istirahat sejenak,

Entah tidur sekejap, atau melepas segala penat
dari rima yang selalu berulang
dari nama yang tak pernah lekang

Satu kalimat yang selalu teringat,
Kau tak bisa memaksa yang kau cinta tumbuh bersama saat cerita hanya diam di tempat tanpa kata.



24/10/18
-G-

Dua Puluh Empat dan Segala Prasangka



Yap, betul sekali saudara-saudara. Tahun ini saya berusia dua puluh empat tahun. Sebuah usia dimana sebentar lagi sudah bukan dewasa-muda, melainkan setengah tua hahaha.



Usia tidak pernah menjadi momok yang menyeramkan untuk saya, apalagi terkait hal yang berbau pernikahan dan kesuksesan. Dimana, orang-orang seusia saya, bahkan mungkin anda yang sedang membaca cerita ini pun memiliki ketakutan pada quarter life crisis.

Banyak hal yang terjadi di kehidupan saya belakangan ini. Teman-teman sekeliling yang mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing (karir, keluarga, dsb) hingga lingkar terdekat saya yang hanya bersisa keluarga. 

Terlintas saya berfikir tentang keluarga. Iya, berkeluarga. Sesiap apa saya untuk membagi separuh hidup saya dengan orang lain?

Berkeliaran di beranda media sosial terkait segala rencana berkeluarga, memesan katering, dekorasi yang unik dan menarik. Begitu pula, kehidupan setelah menikah. Merencanakan sesuatu, memiliki anak, yang notabene di pikiran saya hanya ada tiga hal: Uang, uang dan uang.

Rezeki memang tidak akan kemana. Iya, saya mempercayai Tuhan dan pikiran saya. Tuhan akan mencukupkan selama saya mampu berusaha dan berkembang. Tapi jika dibandingkan dengan realitas saat ini, berapa sih tabungan yang saya punya untuk hidup dengan pasangan saya kelak? 

Saya ingin hidup yang lebih logis. Menikah bukan perihal ndusel bersama, tapi merancang hidup dan meghabiskan hidup dengan orang yang nyaman.

Kelak, saya akan meminta pasangan saya untuk membuatkan proposal dan segala yang saya selama ini mungkin tidak ketahui, seperti proyeksi keuangan hingga hutang kepada kolega. Hal ini untuk mencegah agar kedepannya kami tidak dihantui masalah dan/atau dapat kami selesaikan bersama. Proyeksi keuangan juga perlu, seperti uang masuk dan keluar selama ini untuk apa saja. Saya harus pastikan semua terjabarkan dengan baik. 

Terkait uang suami dan uang istri, saya tidak meminta pasangan saya nantinya untuk memberikan seluruh uangnya pada saya, tapi terkait cashflow dan keperluan kami berdua harus sama-sama terbuka. Menyisihkan satu tabungan untuk belanja bulanan sepertinya akan lebih baik dan autodebt dari tabungan kami masing-masing. Saya sadar, bahan pokok mahal. Yakali cuma mau dimodalin laki aja. Itulah sebabnya, saya mau kerja. Saya nggak mau cuma mengandalkan pasangan saya kelak.

Kemudian, saya ingin sekali pasangan saya dapat mengizinkan saya untuk bekerja, baik di kantoran maupun dirumah.

Dahulu, saya memiliki keinginan untuk membuka usaha sendiri atau bekerja paruh waktu saja yang dijalankan dari rumah, semisal nantinya saya memiliki anak. Tapi saya pun ingin bersosialisasi dengan dunia luar, bertemu dengan orang-orang baru. Saya mengharap pasangan saya kelak mengizinkan perempuan yang tidak bisa diam ini untuk bebas memilih pekerjaan apapun yang layak baginya, selama masih manusiawi. Bekerja di rumah maupun kantoran, semoga kelak ia dapat mengerti bahwa perempuan harus beraktivitas, tidak hanya memikirkan dapur-sumur-kasur.

Plus, menerima apa adanya bahwa saya tidak bisa dandan dan mau menerima saya apa adanya :((((  hahahhaa

Saya pun ingin pasangan yang terbuka, yang kelak dengan bangganya mengenalkan diri saya pada rekan-rekan maupun keluarganya dengan baik dan menjaga segala rahasia atau aib kami berdua untuk cukup didengar oleh telinga kami, tidak untuk orang lain sekalipun keluarga. Maka dari itu juga, saya mau bekerja dan beraktivitas di luar, supaya yaaa kalau dipromosikan kepada teman atau keluarga, ada lah nilai plus nya. Udah nggak cakep, ngga ngapa-ngapain dirumah, sedih amat. 

Terakhir, saya membutuhkan pasangan yang ikhlas sampai mati saya bawelin :( saya sadar diri kadang saya sangat cerewet dan bahkan cerita hal-hal yang kurang penting, mama saya saja sudah lelah sepertinya menanggapi cerita saya. Kalau saya bawel terus pasangan saya nggak mau mendengar cerita receh saya, ibarat dalam penjara seumur hidup :(((

Lho, kenapa keimanan nggak dimasukkin disini?

Menurut saya, keimanan itu kewajiban pasangan satu dan lainnya untuk saling mendukung, menjaga dan membawa ke jalan yang lebih baik. Tidak perlu berharap yang shalatnya kenceng lah sampai sunnah dan qunut, ikut majelis, ataupun hafal kitab-kitab. Saya butuh pasangan yang mau belajar, siap belajar bersama, dan juga mengajarkan. Saya pun yakin, jika keimanannya kuat pun dia tidak perlu meminta kesediaan saya, melainkan langsung weh lah ke mama urangBrave enough?


Duh, kenapa jadi bahas pasang-pasangan kawin-kawnan sih?

Ya ini karena saya lagi nggak bisa tidur aja. Pikiran kemana-mana, dan sepertinya saya perlu menulis ini sebagai pengingat bagi siapapun kelak yang bersedia (anjay sedih bgt w) , setidaknya kamu tidak berjuang sendirian. Saya sedang memantaskan diri.

Namun jika kelak saya dipertemukan lebih cepat, semoga Tuhan memberi jalan. Seperti doa yang selalu saya pinta:
Jika ia, pantaskanlah. Jika bukan, lepaskan dan ikhlaskan,

Bukankah mencapai ikhlas ialah tingkat keimanan yang paling tinggi?



Pada perjalanan mesin waktu
membawa kita pada dialektika
Apakah rima menjadi satu
atau bukan kamu, cerita dibalik kita


😊

I shouldn't expect or hope for anything else.

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top